|

Hari Tani Nasional, Milik Siapa?

Salah satu hamparan tanaman padi di wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, yang mampu diselamatkan pihak UPTD PTPH dan PMKP Dinas Ketapang TPH Sumut dari ancaman gagal panen, beberapa waktu lalu. Foto Ist 

“Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa" Ir H Soekarno

Hari ini, 24 September 2024, seluruh petani di Indonesia seharusnya bersukacita memperingati Hari Tani Nasional. Momentum yang dulu ditandai dengan terbitnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahin 1960, untuk merayakan perjuangan para petani terbebas dari penderitaan dan kesengsaraan itu, seakan tidak bermakna apa-apa. Beragam diskusi dan perdebatan seputar kesejahteraan kaum tani, khususnya petani padi, yang tak kunjung membaik, mengindikasikan hal tersebut. 

Menariknya, peran penting petani kerap menjadi isu menarik dalam setiap perbincangan di negeri agraris ini. Sementara, impor bahan pangan setiap tahun meningkat. Begitu juga konversi secara besar-besaran terhadap lahan pertanian dan juga korporatisasi pangan melalui program Food Estate (konsep pengembangan pangan terintegrasi yang meliputi pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan, red). Bahkan, Food Estate menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.

Berdalih untuk mengamankan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan berkualitas, diantaranya padi, jagung, kedelai, cabai merah, bawang merah, dan buah-buahan, untuk masyarakat dan maksimalisasi produksi dalam negeri, peran petani tradisional justru semakin terpinggirkan. Perlahan tapi pasti, niat menjadikan kaum tani sebagai produsen utama pangan nasional, semakin menjauh.

Tak pelak, keseriusan dalam membenahi masalah pangan menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Tentunya, dengan menghasilkan program yang berpihak pada masyarakat petani, agar taraf hidup keluarganya menjadi sejahtera. Hal itu sesuai dengan tujuan pembentukan UUPA No 5 tahun 1960, yakni mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur.

Padahal, Indonesia sempat mengalami masa kejayaannya sebagai negeri agraris pada Orde Baru. Di masa itu, kebijakan pertanian yang diterapkan pemerintah, sukses menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen beras dunia. Berulangkali swasembada pangan diraih berkat beragam program yang berpihak kepada petani. Kebijakan pertanian semasa kepemimpinan HM Soeharto juga ditiru sejumlah negara, salah satunya India, yang kini menjadi negara pengekspor beras terbesar kedua dunia setelah China, dengan menyumbang 40% lebih perdagangan beras global.

Hal itu dibenarkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan usai melawat ke India, setahun silam.

“Cara India mengelola pertanian saat ini mirip seperti cara Orde Baru,” tutur Zulkifli Hasan dalam rapat kerja dengan anggota Komisi VI DPR RI, September 2023 silam.

Dikemukakannya, sektor pertanian di India melibatkan  koperasi, bukan konglomerasi. Begitu juga dengan pemanfaatan pupuk untuk pertanaman petani, pemerintah tidak menggunakan pupuk pabrikan, melainkan dibuat pihak koperasi-koperasi yang didukung penelitian dari pemerintah. Hasilnya tidak main-main, kebutuhan pangan sebanyak 1,4 miliar penduduk India tercukupi.

Kebijakan ketahanan pangan Orde Baru juga dipuji Menteri Pertanian (Mentan), periode 2004-2009, Anton Apriyanto. Saat menjabat sebagai Mentan, kader Partai Keadilan Sejahtera ini mengklaim, banyak mengadopsi program pertanian Orde Baru. 

“Saat ini, tugas Kementerian Pertanian hanya menyatukan kembali puing-puing berserakan yang sudah dibangun Pak Harto,” ujarnya kala itu.

Mengawali masa pemerintahannya sekira tahun 1966, Soeharto memang memprioritaskan sektor agraria melalui beragam kebijakan yang mengarah kepada revolusi pangan. Dalihnya sederhana, kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi pemicu munculnya krisis politik di Indonesia. 

Guna mewujudkannya, dalam kurun waktu tahun 1970-an hingga 1980-an, pemerintah melakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian, berupa pembangunan waduk, bendungan dan irigasi. Satu hal penting lainnya, digagas program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I dengan fokus untuk swasembada pangan. Hebatnya lagi, sektor pertanian dan irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Tujuannya tidak main-main, peningkatan produksi pangan, utamanya beras. 

Pada Orde Baru juga dikembangkan sejumlah institusi pendukung pertanian, mulai koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnis, Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menampung hasil panen petani, hingga BPTP sebagai wadah menghasilkan inovasi dalam upaya pengembangan sektor pertanian.

Pada masa pemerintahannya, banyak dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani, Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menampung hasil panen serta lembaga penelitian seperti BPTP sebagai wadah menghasilkan inovasi dalam upaya pengembangan pertanian dalam negeri.

Sejumlah pabrik pupuk juga didirikan untuk mendukung ketersediaan pupuk yang dibutuhkan para petani. Pihak perbankan dilibatkan agar memudahkan para petani mendapatkan modal untuk melakukan budidaya pertanaman. Lebih penting lagi, jaminan pemasaran hasil panen dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. 

Khusus dalam komoditas padi, pemerintah memperkenalkan  manajemen usaha tani, sepertu Panca Usaha Tani, Bimbingan Masyarakat, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras.

Kerja keras tersebut akhirnya berbuah manis. Bila pada tahun 1969, Indonesia menjadi salah satu negara agraris pengimpor beras terbesar dunia, karena hanya memproduksi sebanyak 12,2 juta ton beras, di tahun 1984 mampu mencapai 25,8 juta ton beras. Sebagai ganjaran atas kesuksesan tersebut, pada 14 Nopember 1985, Soeharto diundang untuk berpidato dalam Konperensi ke-23 organisasi pangan dunia (Food Agricukture Organitation, FAO) di Roma, Italia.

Ironisnya, saat Reformasi di negeri ini terjadi dan Orde Baru runtuh, kebijakan pertanian cenderung bermuatan politis dengan mengabaikan nasib petani tradisional. Dukungan optimal, baik dalam bentuk perhatian maupun kebijakan yang berpihak kepada petani, dari pemerintah, seakan berlangsung tanpa pola.

Beragam bantuan memang banyak dikucurkan pemerintah, mulai benih atau pun bibit, subsidi pupuk, hingga pemberdayaan petani melalui pelatihan untuk peningkatan sumber daya manusia. Hanya saja, hal itu tidak banyak membantu untuk peningkatan kesejahteraan petani tradisional. Selain pemberian bantuan cenderung tidak tepat sasaran, dengan berbagai faktor pemicu, keterbatasan jumlah personil pendukung di lapangan untuk mendampingi para petani melakukan usaha budidaya, juga belum mampu teratasi. Lagi-lagi, keterbatasan anggaran untuk membayar gaji, menjadi alasannya.

Kepala UPTD PTPH dan PMKP Dinas Ketapang TPH Sumut, H Marino, didampingi tiga kepala seksinya saat hadir pada kegiatan Bimtek petugas POPT dan Laboratorium, beberapa waktu lalu. Foto Ist
Keterbatasan personil Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) di setiap daerah, utamanya sentra pertanaman padi, bisa dijadikan salah satu contoh kebijakan pemerintah yang tidak optimal dalam sektor pertanian. Di saat bersamaan, target menjadi lumbung pangan dunia pada tajun 2045 atau tepat di 100 tahun Republik Indonesia merdeka, yang diawali dengan swasembada beras, gencar digaungkan di seantero negeri.

Para personil POPT di wilayah kerja Provinsi Sumatera Utara, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, misalnya, terpaksa harus bekerja ekstra keras dalam mengamankan pertanaman agar terhindar dari serangan hama dan penyakit serta faktor yang memicu gagal panen. Betapa tidak, memiliki 33 kabupaten/kota, 455 kecamatan serta 693 kelurahan dan 6.417 desa. Idealnya, provinsi ini memiliki satu personil POPT per kecamatan, atau sebanyak 455 orang sesuai jumlah kecamatan di Sumut, agar mampu mengawal pertanaman pangan hingga menuai hasil panen maksimal. Kenyataannya, ‘jauh panggang dari api’.

Menurut Kasubbag Tata Usaha Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura dan Pengawasan Mutu Keamanan Pangan (UPTD PTPH dan PMKP) Sumut, Sa'adi, jumlah seluruh personil POPT hingga tahun 2024, terdiri atas 12 orang Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu POPT (THL TB POPT) yang digaji dari APBD, 60 orang THL TB POPT digaji APBN, serta 65 orang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni 30 orang ASN dan 35 orang lainnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

“Hingga tahun 2024, total personil POPT di wilayah Sumatera Utara berkisar 137 orang,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, kawasan Jalan AH Nasution Medan, beberapa waktu lalu.

Diakuinya, setiap personil tersebut membawahi wilayah tugas minimal tiga kecamatan, bahkan ada yang mencapai 10 kecamatan, seperti di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Kendati demikian, keterbatasan jumlah personil tersebut tidak menyurutkan semangat mereka untuk bertugas. Apalagi, sejumlah inovasi dilakukan pihak manajemen UPTD di bawah naungan Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Ketapang TPH) Sumut ini.

“Salah satu upaya antisipasi kekurangan personil POPT di lapangan, yakni dengan memberdayakan petani untuk sekaligus menjadi petugas Pengamat Hama Penyakit ditempatnya berdomisili,” tutur Kepala UPTD PTPH dan PMKP Sumut, H Marino, melalui telepon selulernya, Senin (23/09/2024).

Dikemukakannya, deteksi dini serangan hama penyakit pada tanaman yang dilakukan petani dimaksud akan segera dilaporkan kepada personil POPT di wilayah tersebut, sebelum diteruskan ke Koordinator POPT dan selanjutnya ke UPTD PTPH dan PMKP di Medan. 

“Dari laporan itu, kita kemudian menentukan apa tindakan selanjutnya agar tanaman bisa segera diselamatkan, termasuk melakukan Gerdal (Gerakan pengendalian, red),” sebutnya.

Hebatnya, keperkasaan para punggawa POPT tersebut kembali diuji dengan optimisme negeri ini menjadi lumbung pangan dunia. Di bawah komando Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, anggota DPR RI menyetujui tambahan anggaran pupuk bersubsidi, dari 4,5 juta ton menjadi 9 juta ton untuk Tahun Anggaran 2024. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, pada Agustus 2024, Mentan kembali mengusulkan tambahan anggaran Tahun 2025 senilai Rp68 triliun dari pagu sebelumnya berkisar Rp7,91 triliun untuk berbagai program, diantaranya cetak sawah 1 juta Hektar (Ha), optimalisasi lahan 600 ribu ha, intensifikasi dan modernisasi pertanian, penyediaan susu gratis, pekarangan pangan  bergizi dan lainnya.

Tak bisa dipungkiri, keinginan untuk membangun sektor pertanian terus ada hingga kini, meski hasilnya selalu tidak sesuai dengan harapan para petani tradisional. Betapa pun, Indonesia memiliki segalanya, lahan subur dan dana, baik bersumber dari APBD maupun APBN, tersedia. 

Satu hal, mungkin, yang belum dimiliki para penguasa negeri, yakni kesungguhan hati untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani tradisional. Selamat Hari Tani Nasional, wahai para Pahlawan Pangan di negeri ini yang masih dianaktirikan... Fey

Komentar

Berita Terkini