|

Petani Padi belum Merdeka

Gerakan Pengendalian Hama Penggerek Batang pada tanaman padi yang dilakukan pihak Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut,di lahan pertanaman Kabupaten Serdangbedagai, beberapa waktu lalu. Foto Ist

Ironi masih terus terjadi di negeri agraris bernama Indonesia. Menjelang perayaan kemerdekaan negeri ini yang ke-79 pada 17 Agustus 2024, nasib petani pangan, khususnya padi, justru kian terpuruk.

Sektor pertanian kerap dinarasikan sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Mampu bertahan di saat pandemi Covid-19, seakan menjadi salah satu buktinya. Namun, hal itu tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan mayoritas petani. Beragam kendala masih dihadapi mereka, mulai keterbatasan lahan pertanaman hingga upah minim, sehingga mengakibatkan kesejahteraan petani tak kunjung membaik.

Presiden Joko Widodo yang semula diharapkan mampu mewujudkan Indonesia gemah ripah loh jinawi (peribahasa dalam Bahasa Jawa yang berarti tentram, makmur dan tanahnya subur, red) di masa kepemimpinannya sejak Oktober tahun 2014, malah terkesan mempersulit ruang gerak para petani untuk meningkatkan kesejahteraan.

Simak saja hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2023 Tahap II. Disebutkan, jumlah rumah tangga usaha pertanian di indonesia mencapai 17,71 juta, setara dengan 62,3% dari total. Dari jumlah tersebut, petani gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5  hektar, red), melonjak menjadi sebesar 21% dibanding tahun 2013 silam yang mencapai 14,62 juta (55,94%).

Padahal, petani gurem ini merupakan garda terdepan dalam upaya mempertahankan ketahanan pangan nasional. Mereka beranggapan, setiap musim tanam merupakan perjuangan untuk bertahan hidup. Tidak jarang, hasil panen yang diperoleh tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya. Belum lagi risiko gagal panen yang kerap mengancam setiap musim tanam. 

Namun, keterbatasan lahan mendorong para petani gurem dipaksa pasrah menikmati minimnya produktivitas yang pada akhirnya berimbas pada tingkat kesejahteraan keluarga mereka. Apalagi, teknologi pertanian yang lebih modern dan efisien, sulit diterapkan di lahan sempit.

Harus diakui, peningkatan jumlah petani gurem itu, sesuai data pihak Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, seiring dengan pertambahan penduduk dan tergerusnya lahan pertanian untuk beragam fungsi. Setiap tahun, berkisar 60 ribu ha hingga 80 ribu ha lahan sawah nasional berubah fungsi dan peruntukannya, atau seluas 600 ribu ha hingga 800 ribu ha pada sepuluh tahun kemudian.

Pada tahun 2009, misalnya luas lahan baku sawah nasional masih mencapai 8,07 juta ha dan mengalami penyusutan hingga menjadi 7,46 juta ha di tahun 2019.

Pembangunan wilayah pemukiman, perkantoran, industri dan infrastruktur lain yang mendukung perkembangan masyarakat, diantaranya menjadi alasan alih fungsi lahan pertanian tersebut. 

Satu hal yang seharusnya mendorong pemerintah untuk lebih sigap melindungi petani gurem agar tetap bertahan melakukan usahatani. Kontribusi dari petani gurem selama ini dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional, seharusnya ditanggapi serius pemerintah melalui sejumlah kebijakan yang berpihak. Mereka tidak ingin ‘dianak-emaskan’ di negeri ini, tapi jangan juga dianggap ‘anak haram’ yang seolah-olah bukan lahir dari rahim ibu pertiwi.

Pemerintah berkewajiban mendorong para petani gurem agar lebih produktif untuk peningkatan kesejahteraan keluarganya, melalui beragam upaya semaksimal mungkin. Bukan justru meninggalkannya saat negeri ini menapaki usia yang ke-79 tahun kemerdekaannya. Fey

Komentar

Berita Terkini