Medan – Pesona tanaman bunga matahari (sunflower) mulai menyeruak ke Kantor Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Ketapang TPH) Sumut, Jalan AH Nasution No 6 Medan. Warung Barokah yang berada di belakang Masjid Al Azhar, menjadi saksi obrolan seru non-formal seputar budidaya tanaman bunga matahari, berikut prospek bisnis dari hasil olahannya.
Keseruan perbincangan berawal saat salah seorang Penyuluh Pertanian Dinas Ketapang TPH Sumut, H Iman Rahmat Catur, menganggap bertanam bunga matahari relatif mudah.
“Bunga matahari banyak tumbuh subur di pematang sawah atau pun hiasan di rumah masyarakat, umumnya kawasan pedesaan,” ujarnya yang saat itu hadir bersama rekan sesama penyuluh pertanian, Risma dan Marni.
Namun, pendapat itu tidak sepenuhnya dibenarkan pihak Agrotech Innovator Sumatera. Dikatakan, tanaman yang tumbuh subur itu tidak menjamin munculnya biji di kuntum bunga matahari.
“Tanaman bunga matahari membutuhkan perlakuan khusus di usia satu bulan setelah tanam, untuk pengisian biji di kuntum bunga matahari,” ungkap M Rahmana Sembiring dari Agrotech Innovator Sumatera.
Dikemukakannya, bunga matahari mulai mengalami proses pengisian biji di usia 45 hari, sehingga membutuhkan perlakuan khusus untuk perawatannya.
“Ada empat faktor penyebab biji bunga matahari kosong, yakni kekeringan, serangan ulat, kekurangan fosfor dan minim sinar matahari,” papar Rahmana Sembiring.
Pentingnya Fosfor untuk pengisian biji di kuntum bunga matahari juga disinggung sejawatnya di Agrotech Innovator Sumatera, Abdul Rahman.
“Fosfor dibutuhkan sebagai salah satu unsur penting dalam perkembangan biji bunga matahari,” tukasnya.
Sementara, Wakil Ketua DPD Perkumpulan Pengusaha Penggilingan Beras dan Padi Indonesia (Perpadi) Sumut, H Fuad, mempertanyakan prospek pemasaran biji bunga matahari. Hal ini berdasarkan pengalaman petani porang sebelumnya yang merugi akibat hasil panen berharga rendah.
“Bagi petani, kalau ada pasarnya dan jaminan harga, pasti mereka mau menanam,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Rahman mengklaim, pihaknya bersedia menampung biji bunga matahari dengan harga Rp10 ribu per kilogram (kg). Diakuinya, harga tersebut akan jauh lebih mahal bila biji bunga matahari dijual dalam bentuk minyak nabati.
“Tawaran dari pabrikan sudah banyak, tapi kita belum berani menerima kontrak penyediaan biji bunga matahari karena tidak ada pertanaman di Sumatera Utara,” tuturnya.
Satu hal yang mendorong pihak Agrotech Innovator Sumatera semakin gencar menyosialisasikan budidaya tanaman bunga matahari kepada masyarakat. Tujuannya agar bahan baku biji bunga matahari tersedia, sehingga bisa menghasilkan beragam produk turunannya, seperti sabun mandi, rokok herbal, lip balm (pelembab bibir, red) dan lainnya.
“Selain bahan baku pembuatan kuaci, minyak nabati yang dihasilkan biji matahari juga bisa diolah untuk kebutuhan kecantikan dan kesehatan,” sebutnya sembari memperlihatkan sejumlah produk olahan dari minyak nabati biji bunga matahari.
Tampak hadir pada kesempatan itu, Kasubbag Umum Dinas Ketapang TPH Sumut, Syarifuddin Siregar, Kasubbag Tata Usaha UPT (Unit Pelaksana Teknis) Benih Induk Hortikultura Gedung Johor, Riky Himawan, Kepala Seksi Penerapan Penanganan Organisme Pengganggu Tanaman Pangan, Dampak Perubahan Iklim dan Mutu Keamanan Pangan UPT PTPH dan PMKP Sumut, Amran, Kasubbag Tata Usaha UPT Palawija Tanjung Selamat, Rahmat Aperdin Ritonga, serta Staf Bidang Hortikultura Dinas Ketapang TPH Sumut, Dona Syahraini Pane dan Jontar Gultom. Fey