Pakar Hukum Tata Negara Universitas HKBP Nommensen, Dr Janpatar Simamora SH saat memberikan keterangan di Medan, Rabu (28/8/2019). Foto Yohana Zira |
"Bila keputusan itu tidak dilaksanakan justru bisa semakin menambah beban anggaran APBD Provinsi Sumut. Sebab, kerugian dari pihak penggugat setelah berhasil memenangkan gugatan, semakin hari bertambah besar," ujarnya di Medan, Rabu (28/8/2019).
Ia menyatakan, kerugian itu wajib diganti dan harus masuk dalam APBD Pemprov Sumut di tahun 2020. Dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan, pemerintah wajib melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Menurutnya, putusan pengadilan jika tidak dilaksanakan justru bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum, sehingga, tidak ada alasan untuk tetap menghapus PT SDK dari daftar penerima nominatif itu.
"Saya berkeyakinan, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi bijak dan arif dalam menyikapi putusan PT TUN, meski gugatan PT SDK terhadap gubernur di era kepemimpinan Tengku Erry Nuradi," paparnya lantas menambahkan, berdasarkan putusan PTTUN sesuai Nomor: 83/B/2019/PT TUN-MDAN, tanggal 8 April 2019, yang sudah berkekuatan hukum, pengadilan memerintahkan Pemprov Sumut wajib memasukkan PT SDK dalam daftar nominatif.
Janpatar menilai, keputusan Erry Nuradi dalam menghapus PT SDK dari daftar penerima nominatif di lahan eks PTPN II itu perlu diteliti pejabat baru untuk mengungkap alasan penghapusan daftar nominatif.
Secara terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Dr Berlian Simarmata SH MHum mengingatkan, jika penerbitan surat keputusan oleh aparatur negara, seperti penghapusan daftar nominatif terhadap PT SDK dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain maupun mafia, maka perbuatan itu dapat dikategorikan merupakan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dan dilarang dalam Pasal 3 UU PTP Korupsi Nomor 31/1999 jo. UU Nomor 20/2001.
"Penerbitan surat-surat guna melegalkan perbuatan para mafia tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang karena sarat kepentingan. Ini merupakan kesalahan dan warisan dari pemerintahan sebelumnya," urainya.
Permainan mafia tanah, apalagi di Sumatera utara, kata Berlian, bukan rahasia lagi. Mafia tanah umumnya melibatkan berbagai pihak, seperti anggota masyarakat tertentu sebagai pemodal maupun oknum pejabat. Ia menyarankan penelitian lebih mendalam atas alasan pemimpin Sumut yang lama dalam melakukan penghapusbukuan PT SDK dari daftar nominatif itu.
"Setiap permasalahan tanah yang sebelumnya dikuasai negara, perbuatan melawan hukum juga bisa melibatkan oknum aparatur pemerintahan di pusat maupun daerah," tuturnya.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum Badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumut, M Alwi Hasbi Silalahi. Dijelaskannya, kejahatan mafia tanah sudah berlangsung lama. Bahkan, mafia melibatkan masyarakat sebagai modus menutupi kejahatan. Identitas masyarakat sebagai penerima lahan eks PTPN II itu dinilai tidak jelas.
"Kami mendukung proses penegakan hukum untuk mengungkap kejahatan itu," tegasnya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Hukum Pemprov Sumut, Andy Faisal SH MHum mengklaim, pihaknya menghormati putusan PT TUN yang mengabulkan permohonan gugatan dari pihak PT SDK dan akan mengkaji dalam melaksanakan putusan tersebut.
"Surat Gubernur Sumut nomor: 181.1/13294/2017 perihal menghapus PT SDK dari daftar penerima nominatif, sudah dibatalkan pengadilan. Artinya, keputusan gubernur tidak berlaku lagi," tukasnya.
Selain memberikan masukan dalam mengawal kepemimpinan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga setiap kebijakan maupun keputusan yang diambil menyangkut masalah lahan eks PTPN II itu, tidak menyalahi prosedur.
"Gubernur Sumut berkomitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih dari segala bentuk korupsi, sehingga menjadikan Sumut Bermartabat," tandasnya. Yohana Zira